Ketika di Surabaya Post
Hai Rekan, Seperti yang sapa pernah ceritakan dulu, kurang lebih saya sempat 1 bulan menjadi bagian dari Surabaya Post. Belajar Jurnalisti...
Hai Rekan,
Seperti yang sapa pernah ceritakan dulu, kurang lebih saya sempat 1 bulan menjadi bagian dari Surabaya Post. Belajar Jurnalistik walau hanya sebentar, belajar menulis berita walau tidak lebih dari 27 Hari. Satu hal yang saya sesalkan, hilangnya surabayapost.co.id (bersamaan tenggelamnya Surabaya Post). Padahal berbagai tulisan saya disitu, walau tidak banyak, saya hanya simpan linknya, yang kemudian tentu, ikut hilang bersama dengan hilangnya domain "surabayapost(dot)co(dot)id"
Bersyukur saya menemukan salah satu yang terselamatkan. Bahkan, untungnya, merupakan tulisan favorit selama saya "belajar" di Surabaya Post : Tentang Perpustakaan Medayu Agung
berikut
Domain asli bisa di cek dari sini :
http://duniaperpustakaan.com/kisah-perpustakaan-medayu-agung-yang-menolak-koleksinya-di-beli-1-milyar/
__________________________________________
Terbit pada 2 Oktober 2013 (2/10/13).
Sejak muda, Oie Him Hwie rajin mengeliping berita dari surat kabar, menyimpan koleksi buku-bukunya, dan bahkan menata rapi benda-benda peninggalan yang diperolehnya dari para tokoh nasional. Dan ketelatenannya itu kini baru dirasakan manisnya, catatan-catatan historis yang dimiliki pembina Perpustakaan Medayu Agung itu kini menjadi referensi sejarah. Bahkan, koleksinya itu sempat ditawar Rp 1 miliar 14 tahun silam, tapi ditolaknya.
Ya! Tahun 1999 lalu, Charles Coppel dari University of Melbourne Australia pernah mendatangi Oie Him Hwie dan menawar seluruh koleksinya seharga Rp 1 miliar. Semua koleksi Oie akan dijadikan pusat studi Indonesia di Australia kala itu. Namun Oie menolak. ”Saya khawatir bukti-bukti sejarah yang kita punya ini dipelintir, makanya saya menolak,” tegasnya.
Hidup Oie memang tidak pernah lepas dari naskah dan buku. Saat muda, ia mengamankan buku-buku dan berbagai hal, khususnya yang berbicara tentang Presiden RI pertama Soekarno. Bahkan, di usia tengah baya, juga ia menyelamatkan naskah Pramoedya Ananta Toer saat kembali dari pulau Buru.
Pada periode keemasan orde baru, ia juga menyelamatkan naskah dan buku-buku yang berhubungan dengan Tionghoa Indonesia. Saat ini, Oie menikmati masa senjanya dengan mengelola perpustakaan yang ia prakarsainya di daerah Medokan Ayu, Surabaya.
Oie muda adalah seorang wartawan harian Terompet Masjarakat. Karena kekagumannya terhadap Bung Karno, ia kemudian menjadi wartawan yang sangat fokus kepada sepak terjang presiden pertama Indonesia itu. Tahun 1964, Oie mendapatkan tugas untuk mewawancarai Bung Karno di Istana Negara.
Bung Karno dikenal sebagai sosok yang suka kerapian, termasuk ketika diwawancarai, ia mengharuskan wartawannya rapi. “Nah, saat itu saya tidak punya jam tangan, nampaknya Bung Karno mengamati itu, jadi setelah wawancara saya diberikan jam tangan oleh beliau,” cerita Oie.
Bencana baginya terjadi tahun 1965, kecondongannya pada bung Karno dijadikan alibi bagi Orde Baru untuk menjebloskan Oie ke penjara Tapol di camp Batu, Malang. “Semua arsip, naskah, souvenir, foto, buku yang berbau Bung Karno, dirampas dari rumah saya di Malang,” kenangnya. Untungnya, ada banyak sisa koleksi lain yang aman. “Adik saya sengaja mengamankannya di plafon rumah,” tambahnya. Koleksi itu bisa dinikmati pengunjung Perpustakaan Medayu Agung saat ini.
Pada tahun 1970, ia dipindahkan ke Nusa Kambangan dan setahun kemudian dipindahkan ke Pulau Buru. Perkenalannya dengan Pramoedya Ananta Toer terjadi setelah itu, di mana ladang yang ia harus garap berada di belakang gubuk tempat Pram diisolasi. Pram harus menulis sesuai permintaan Dewan Penerangan Luar Negeri. Di sela-sela penulisan, Pram masih menyempatkan diri untuk menulis karya seperti ’Bumi Manusia’, ’Jejak Langkah’, ’Arus Balik’ dan lain-lain.
Saat akan bebas, Oie dititipi naskah asli karya-karya Pram selama di Pulau Buru. Naskah Pram ia simpan di tas baju kotor miliknya. “Untungnya lolos pemeriksaan, kalau tidak saya mungkin sudah ditembak,” kenangnya. Naskah ini selanjutnya coba dikembalikan Oie ke Jakarta saat Pram juga sudah bebas di Tahun 1980, namun Pram hanya memfotokopi dan mempersilakan Oie menyimpan naskah aslinya. Koleksi penting ini juga dapat kita nikmati di Perpustakaan Oie.
Selain itu, Oie juga berhasil mengamankan berbagai publikasi tentang perkembangan Tionghoa di Indonesia. Sebelum Era Reformasi, publikasi tentang Tionghoa Indonesia dibatasi bahkan cenderung dilarang. “Fakta-fakta yang ada pun disimpang siur kan,” tambah Oie. Buku dan publikasi lain tentang Tiongkok Indonesia baru ia ungkap ke khalayak umum baru setelah era Presiden RI Abdurrahman Wahid.
Dengan statusnya sebagai Eks-Tahanan Politik, Oie sempat melalui masa suram sekembali dari Pulau Buru. Oie sempat menjadi tukang sablon selama 6 bulan, sebelum Haji Masagung menemuinya di Malang dan kemudian mempekerjakan Oie di Jakarta. ”saya beruntung bertemu Masagung, anak angkat Bung Karno, perpustakaan ini sejarahnya dari dia,” ujar Oie.
Setelah sempat bekerja di Jakarta, Oie membuka toko buku di Surabaya. Toko Buku ini sempat laris karena menjual buku-buku tentang Bung Karno, yang pada masa itu tentu jumlahnya di pasaran sangatlah terbatas. ”Setelah Orde Baru berakhir, buku-buku Soekarno mulai bebas beredar di pasaran,” ujarnya. Bisnis toko buku Oie kemudian tenggelam. Saat itulah Ongko Tikdoyo, salah satu pegiat Tinghoa Indonesia di Surabaya menyarankan ia membuka perpustakaan.
”Saya disarankan ngontrak rumah, khusus untuk perpustakaan yang kemudian menampung semua koleksi pribadi yang saya kumpulkan selama ini,” kata Oie. Seiring berkembangnya perpustakaan ini, banyak sumbangan buku diterima Oie, di antaranya dari Prof. Benedict R. O. Anderson (Cornell University, USA). Ia menyumbangkan hasil karya Imagined Communities.
Dengan berbagai koleksi langka dan penting, maka tak heran jika banyak mahasiswa, khususnya yang mendalami sosial politik, akan sering berkunjung di perpustakaan ini. ”Sekali datang biasanya berkelompok 5-20 orang” tuturnya. Oie menyimpan tidak kurang dari 30 skripsi dan tesis mahasiswa yang pernah menggunakan perpustakaannya sebagai tempat mencari data.
Buku yang ada di perpustakaan ini tidak boleh dibawa pulang, tapi bisa dikopi jika memang diperlukan. Pengunjung hanya perlu mengganti uang fotokopi saja. Katalog di perpustakaan ini juga masih manual. ”Dana yang kami terima belum bisa untuk berbuat terlalu banyak, ya semoga generasi muda nanti mampu membawa perpustakaan ini jauh lebih maju,” pesannya.
Seperti yang sapa pernah ceritakan dulu, kurang lebih saya sempat 1 bulan menjadi bagian dari Surabaya Post. Belajar Jurnalistik walau hanya sebentar, belajar menulis berita walau tidak lebih dari 27 Hari. Satu hal yang saya sesalkan, hilangnya surabayapost.co.id (bersamaan tenggelamnya Surabaya Post). Padahal berbagai tulisan saya disitu, walau tidak banyak, saya hanya simpan linknya, yang kemudian tentu, ikut hilang bersama dengan hilangnya domain "surabayapost(dot)co(dot)id"
Bersyukur saya menemukan salah satu yang terselamatkan. Bahkan, untungnya, merupakan tulisan favorit selama saya "belajar" di Surabaya Post : Tentang Perpustakaan Medayu Agung
berikut
Domain asli bisa di cek dari sini :
http://duniaperpustakaan.com/kisah-perpustakaan-medayu-agung-yang-menolak-koleksinya-di-beli-1-milyar/
__________________________________________
Terbit pada 2 Oktober 2013 (2/10/13).
Sejak muda, Oie Him Hwie rajin mengeliping berita dari surat kabar, menyimpan koleksi buku-bukunya, dan bahkan menata rapi benda-benda peninggalan yang diperolehnya dari para tokoh nasional. Dan ketelatenannya itu kini baru dirasakan manisnya, catatan-catatan historis yang dimiliki pembina Perpustakaan Medayu Agung itu kini menjadi referensi sejarah. Bahkan, koleksinya itu sempat ditawar Rp 1 miliar 14 tahun silam, tapi ditolaknya.
Ya! Tahun 1999 lalu, Charles Coppel dari University of Melbourne Australia pernah mendatangi Oie Him Hwie dan menawar seluruh koleksinya seharga Rp 1 miliar. Semua koleksi Oie akan dijadikan pusat studi Indonesia di Australia kala itu. Namun Oie menolak. ”Saya khawatir bukti-bukti sejarah yang kita punya ini dipelintir, makanya saya menolak,” tegasnya.
Oie Him Hwie, pembina Perpustakaan Medayu Agung menunjukkan koleksi buku langka miliknya. || SP/Gustaf Wijaya |
Pada periode keemasan orde baru, ia juga menyelamatkan naskah dan buku-buku yang berhubungan dengan Tionghoa Indonesia. Saat ini, Oie menikmati masa senjanya dengan mengelola perpustakaan yang ia prakarsainya di daerah Medokan Ayu, Surabaya.
Oie muda adalah seorang wartawan harian Terompet Masjarakat. Karena kekagumannya terhadap Bung Karno, ia kemudian menjadi wartawan yang sangat fokus kepada sepak terjang presiden pertama Indonesia itu. Tahun 1964, Oie mendapatkan tugas untuk mewawancarai Bung Karno di Istana Negara.
Bung Karno dikenal sebagai sosok yang suka kerapian, termasuk ketika diwawancarai, ia mengharuskan wartawannya rapi. “Nah, saat itu saya tidak punya jam tangan, nampaknya Bung Karno mengamati itu, jadi setelah wawancara saya diberikan jam tangan oleh beliau,” cerita Oie.
Bencana baginya terjadi tahun 1965, kecondongannya pada bung Karno dijadikan alibi bagi Orde Baru untuk menjebloskan Oie ke penjara Tapol di camp Batu, Malang. “Semua arsip, naskah, souvenir, foto, buku yang berbau Bung Karno, dirampas dari rumah saya di Malang,” kenangnya. Untungnya, ada banyak sisa koleksi lain yang aman. “Adik saya sengaja mengamankannya di plafon rumah,” tambahnya. Koleksi itu bisa dinikmati pengunjung Perpustakaan Medayu Agung saat ini.
Pada tahun 1970, ia dipindahkan ke Nusa Kambangan dan setahun kemudian dipindahkan ke Pulau Buru. Perkenalannya dengan Pramoedya Ananta Toer terjadi setelah itu, di mana ladang yang ia harus garap berada di belakang gubuk tempat Pram diisolasi. Pram harus menulis sesuai permintaan Dewan Penerangan Luar Negeri. Di sela-sela penulisan, Pram masih menyempatkan diri untuk menulis karya seperti ’Bumi Manusia’, ’Jejak Langkah’, ’Arus Balik’ dan lain-lain.
Saat akan bebas, Oie dititipi naskah asli karya-karya Pram selama di Pulau Buru. Naskah Pram ia simpan di tas baju kotor miliknya. “Untungnya lolos pemeriksaan, kalau tidak saya mungkin sudah ditembak,” kenangnya. Naskah ini selanjutnya coba dikembalikan Oie ke Jakarta saat Pram juga sudah bebas di Tahun 1980, namun Pram hanya memfotokopi dan mempersilakan Oie menyimpan naskah aslinya. Koleksi penting ini juga dapat kita nikmati di Perpustakaan Oie.
Selain itu, Oie juga berhasil mengamankan berbagai publikasi tentang perkembangan Tionghoa di Indonesia. Sebelum Era Reformasi, publikasi tentang Tionghoa Indonesia dibatasi bahkan cenderung dilarang. “Fakta-fakta yang ada pun disimpang siur kan,” tambah Oie. Buku dan publikasi lain tentang Tiongkok Indonesia baru ia ungkap ke khalayak umum baru setelah era Presiden RI Abdurrahman Wahid.
Dengan statusnya sebagai Eks-Tahanan Politik, Oie sempat melalui masa suram sekembali dari Pulau Buru. Oie sempat menjadi tukang sablon selama 6 bulan, sebelum Haji Masagung menemuinya di Malang dan kemudian mempekerjakan Oie di Jakarta. ”saya beruntung bertemu Masagung, anak angkat Bung Karno, perpustakaan ini sejarahnya dari dia,” ujar Oie.
Setelah sempat bekerja di Jakarta, Oie membuka toko buku di Surabaya. Toko Buku ini sempat laris karena menjual buku-buku tentang Bung Karno, yang pada masa itu tentu jumlahnya di pasaran sangatlah terbatas. ”Setelah Orde Baru berakhir, buku-buku Soekarno mulai bebas beredar di pasaran,” ujarnya. Bisnis toko buku Oie kemudian tenggelam. Saat itulah Ongko Tikdoyo, salah satu pegiat Tinghoa Indonesia di Surabaya menyarankan ia membuka perpustakaan.
”Saya disarankan ngontrak rumah, khusus untuk perpustakaan yang kemudian menampung semua koleksi pribadi yang saya kumpulkan selama ini,” kata Oie. Seiring berkembangnya perpustakaan ini, banyak sumbangan buku diterima Oie, di antaranya dari Prof. Benedict R. O. Anderson (Cornell University, USA). Ia menyumbangkan hasil karya Imagined Communities.
Dengan berbagai koleksi langka dan penting, maka tak heran jika banyak mahasiswa, khususnya yang mendalami sosial politik, akan sering berkunjung di perpustakaan ini. ”Sekali datang biasanya berkelompok 5-20 orang” tuturnya. Oie menyimpan tidak kurang dari 30 skripsi dan tesis mahasiswa yang pernah menggunakan perpustakaannya sebagai tempat mencari data.
Buku yang ada di perpustakaan ini tidak boleh dibawa pulang, tapi bisa dikopi jika memang diperlukan. Pengunjung hanya perlu mengganti uang fotokopi saja. Katalog di perpustakaan ini juga masih manual. ”Dana yang kami terima belum bisa untuk berbuat terlalu banyak, ya semoga generasi muda nanti mampu membawa perpustakaan ini jauh lebih maju,” pesannya.
Post a Comment:
Pembaca yang baik pasti meninggalkan feedback